Jumat, 13 Mei 2011

Kampusku

Bagiku, kampus masih tetap menjadi tempat belajar. Meski hingga kini sudah lama mengajar, tapi mengajar sendiri adalah proses belajar. Aku dapat memperoleh banyak ilmu dan pengalaman. Termasuk dari kampus itu sendiri.
Kampus, bagiku, adalah buku besar, sebuah ensiklopedi kehidupan, khususnya tentang makna akademika. Di kampus aku belajar banyak, bukan hanya tentang teori-teori yang seringkali kurang aplikatif, tapi juga tentang etika, moral, agama, dan juga demokrasi. Di kampus pula aku menemukan orang-orang jujur, salih, tawadlu, dan setia. Dan di kampus pula aku menemui orang-orang "asing" yang pandai berpura-pura akrab dan setia, padahal dia adalah penghianat.
Mukanya dua, bahkan lebih dari dua. Di depan dia berkata manis, tapi di belakang dia berkata sebaliknya. Di depan dia bersumpah setia, di belakang dia menikam kejam.
Tuhan, maaf, aku ingin bertanya: "Inikah yang Engkau sebut sebagai orang-orang munafiq, seperti Engkau sendiri jelaskan dalam kitab suci-Mu?".

Kamis, 17 September 2009

Satu Syawal

Banyak orang berharap, hanya ada satu 1 Syawal. Konon, mereka capek menyaksikan perbedaan. bertahun-tahun tidak pernah sama. Berabad-abad pula mereka merindukan keseragaman. Berbeda seolah merupakan hantu dalam kehidupan.
Mengapa harus sama? Tentu sama juga boleh. Tapi jangan dipaksa dibikin sama. Apalagi melalui pendekatan "kekuasaan". Berbeda itu jauh lebih baik, jika perbedaan itu memang berakar pada "keharusan" obyektif dan atas dasar pemikiran yang tulus tanpa pretensi apapun.
Biarkan makhluk yang bernama "berbeda" itu tetap hidup. Kenyataan berbeda adalah buku lain yang berisi berbagai ilmu tentang cara menghargai orang lain. Agar orang tidak menjadikan "memakskan kehendak" sebagai alat yang dapat mematikan silaturahmi dan membunuh kreatifitas.
Perbedaan itu sangat indah. Selama perbedaan itu bukan hasil rekayasa untuk membangun kesan "asal beda". Nikmatilah perbedaan...

Selasa, 30 Juni 2009

Debat

Malam ini ada debat di TV. Yang berdebat para tim sukses capres/cawapres. Saya jadi sedih, karena ingat peristiwa masa lalu. Tiga puluh tahun yang lalu, saat duduk di bangku SMP, saya suka ikut latihan berdebat. Rebutan kesempatan. Adu suara. Main intrupsi. Dan masih banyak lagi gaya anak-anak bicara yang sesekali dibumbui sedikit emosi.
Di TV malam ini, ada debat. Tampilannya mirip sekali acara latihan debat kami tempo doeloe, waktu kami masih anak-anak. Memang rame, meski tak bermutu. Padahal, kali ini, aktor debatnya adalah para politisi, bahkan juru bicara istana. Dan, gaya debat para politisi inilah yang membuat saya sedih, karena mengingatkan saya pada kenangan lama.
Hmmm..., mungkin inilah cermin budaya demokrasi di negeri ini. Kebebasan bicara yang lahir prematur di tengah kealfaan budaya politik demokratik. Hingga akhirnya perdebatan pun hanya mampu menyajikan semangat apologetik.
Ya, lumayan, itung-itung sekolah retorika, sekalian mencari bibit potensial orator masa depan. Seusai pilpres nanti, mudah-mudahan mereka naik kelas.

Selasa, 09 Juni 2009

Sekolahku

Keluarga adalah sekolahku yang lain. Seperti di sekolah, aku dapat pelajaran. Banyak sekali pelajaran yang dapat kutimba dari sekolah yang satu ini. Seperti di sekolah, dalam mendayung perahu keluarga, aku banyak melakukan kesalahan. Seperti di sekolah, aku juga kadang berprestasi dan jadi bintang kelas. Seperti di sekolah, ketika berbuat salah, di sini aku kena sanksi. Seperti di sekolah, ketika berprestasi, di sini aku juga sering dapat reward.

Istri dan anak-anaku adalah guru-guruku. Mereka banyak memberi ilmu tentang banyak hal: agar aku bisa lebih bijak, lebih sabar, dan tetap tulus. Aku mencintai mereka, karena mereka pun mencintaiku. Kadang aku marah. Lalu segera minta maaf. Aku tersenyum. Aku bahagia.

Aku merakit keluarga. Tak terasa, hari ini tepat ulang tahun yang ke-20. Hampir seperempat abad sudah kulalui. Tapi aku belum sanggup memberikan yang lebih berharga buat mereka. Perahu ini seolah masih begini-begini saja.

Tapi aku bersyukur, karena mereka tetap mencintaiku, meski aku banyak berbuat keliru. Istriku, anak-anakku, semua pernah menangis. Perih. Mereka menanggung penderitaan, karena kelalaianku.

Maafkan...
Mamih, Yunus, Salman, dan Shafa. Besok kita memasuki tahun ke-21.

Senin, 01 Juni 2009

Saya Suka

Menjelang Pilpres 2009 ini, saya suka kampanye. Bagi saya, acara kampanye di TV adalah tontonan baru. Saya suka itu. Meski secara substansi tidak bermutu, tapi saya merasa terhibur. Banyak tontonan di TV saat ini kian membosankan. Sering hanya itu-itu saja. Tapi, sejak tiga pasangan capres/cawapres ditetapkan KPU, tontonan itu segar kembali.

Saya ingat zaman anak-anak tempo doeloe. Anak-anak suka membangga-banggakan dirinya, miliknya, atau pilihannya. Kadang menjelek-jelekan milik atau pilihan orang lain. Sekarang, anak-anak tidak lagi seperti itu. Mereka lebih maju dengan gaya bermainnya yang lebih dewasa. Saya kehilangan itu semua. Saya merindukan suasana anak bermain yang sangat lucu dan menggembirakan itu.

Beruntung, sekarang banyak pemain baru. Perilaku lucu itu sekarang diperankan pemain baru itu, para politisi dan sejumlah elit politik pendukung dan penggembira demokrasi.

Terima kasih, atas hiburan gratis yang tersaji setiap hari. Kelak, kalau pilpres telah usai, sebaiknya suasana ini dilanjutkan. Saling kritik jangan berhenti. Itung-itung menghidupkan peran kontrol yang seharusnya diperankan DPR, karena para anggota legislatif pun sering hanya menjadi tontonan publik.

Saya merasa terhibur. Saya suka itu.

Jumat, 15 Mei 2009

Mainan Koalisi


Mungkin, ke depan akan ada mainan yang bernama "Koalisi". Kalau benar kelak mainan itu ada, hampir pasti permainan itu diilhami oleh kisah koalisi yang kini tengah diperankan sejumlah elit politik menjelang pemilihan presiden dan wakil preseden.
Seperti permainan Catur. Mungkin, awalnya, dulu permainan itu diilhami oleh pengalaman perang. Perang tempo doeloe memang tidak banyak menggunakan peralatan senjata modern seperti perang saat ini. Tidak seperti tragedi Irak atau seperti Jalur Gazza. Kira-kira seperti catur. Ada raja yang baru bergerak belakangan. Ada bidak yang sering jadi korban.
Kisah koalisi memang menarik. Bahkan kadang lucu. Ibarat catur. Lihatlah sejumlah partai yang datang mengerumuni calon yang memiliki elektabilitas tinggi. Lalu, tiba-tiba terancam bubar karena merasa tidak disapa. Atau seperti partai besar yang tidak mau berubah jadi patih. Sejak awal memang sudah niat jadi raja.
Kalau benar kelak mainan itu ada, seperti itulah kira-kira permainan itu.
Terima kasih para politisi. Peran-perannya telah membuat saya tertawa bahagia. Ibarat tontonan yang semakin lama semakin meriah.
Mudah-mudahan benar ada orang kreatif bikin permainan koalisi. Biar anak-anak pun tahu kalau koalisi itu ramai dan menarik untuk ditonton.

Senin, 13 April 2009

Melanggarlah..!

Setelah masa kampanye terbuka usai, berbagai media mengumumkan hasil rekapitulasi pelanggaran yang dilakukan partai politik peserta pemilu. Hasilnya, luar biasa: tiga partai besar tercatat sebagai pelaku pelanggaran terbanyak selama masa kampanye.
Sehari setelah masa pencontrengan, berbagai lembaga survey mengumumkan hasil hitung cepat. Hasilnya, luar biasa: tiga partai besar keluar sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak.
"Apa katamu Kang?", tanya saya pada Kang Kabayan.
"Ya, melanggarlah kalau ingin memenangi pemilu di Indonesia", jawab Kabayan singkat.
Toh, partai yang melakukan pelanggaran paling banyak-lah yang dapat memperoleh suara paling banyak. Semakin banyak melakukan pelanggaran, semakin terbuka peluang menang dalam pemilu di negeri ini.
Dan, partai pelaku pelanggaran itu, tetap melenggang tenang. Tanpa beban. Pelanggaran cukup diumumkan, tanpa menghambat sedikit pun pelaku pelanggaran.
Hehe... politik Indonesia... Lucu..!